Hari ini, kukis mungkin terlihat sebagai camilan kekinian yang mudah ditemukan di kafe, toko online, atau hampers hadiah. Tapi tahukah kamu bahwa jejak kukis di Indonesia sudah berlangsung sejak lama—jauh sebelum ia tampil cantik dalam kemasan estetik atau viral di media sosial?
Kata “kukis” sendiri berasal dari bahasa Belanda: koekje, yang artinya “kue kecil.” Pengaruh Belanda dalam dunia kuliner Indonesia tidak bisa diabaikan, terutama dalam tradisi kue kering yang sudah menjadi bagian dari budaya kita, terutama saat hari raya. Kukis adalah salah satu bentuk dari tradisi tersebut, yang awalnya dibawa oleh penjajah, namun kini telah bertransformasi menjadi milik kita.
Pada masa kolonial, kukis hadir sebagai bagian dari suguhan ala Eropa—terutama di kalangan bangsawan dan keluarga Belanda yang tinggal di Hindia Belanda. Kukis disajikan dengan teh sore atau sebagai bagian dari pesta teh, lengkap dengan piring-piring kecil dan suasana formal. Salah satu bentuk awal kukis yang dikenal saat itu adalah kaastengel, nastar, dan putri salju—semuanya masih kita kenal sampai hari ini, bukan?
Seiring waktu, kukis mulai masuk ke dapur-dapur masyarakat lokal. Perempuan Indonesia mulai belajar membuatnya, baik dari buku resep peninggalan Belanda maupun dari pengalaman langsung bekerja di rumah-rumah kolonial. Dari sinilah tradisi kue kering rumahan berkembang, menjadi bagian penting dari budaya kuliner kita, terutama saat Lebaran dan Natal.
Masuk ke era modern, kukis mengalami transformasi besar. Dari yang awalnya berbasis resep klasik seperti nastar dan lidah kucing, kini kukis hadir dalam ragam rasa dan gaya yang lebih global—seperti soft-baked choco chip, red velvet cookies, hingga matcha almond crunch. Generasi muda, khususnya di kota-kota besar seperti Malang, mulai melirik kukis bukan hanya sebagai camilan rumahan, tapi juga sebagai produk lifestyle.
Inilah yang membuka jalan bagi brand-brand lokal untuk tampil dan bersaing. Bratan Hauss, misalnya, hadir sebagai bentuk evolusi dari kukis rumahan menjadi kukis yang premium namun tetap punya sentuhan personal. Kami percaya bahwa di setiap kukis yang kami buat, terselip nilai sejarah, budaya, dan inovasi.
Kukis bukan lagi sekadar camilan kecil. Ia adalah bagian dari warisan budaya yang terus tumbuh bersama zaman. Dari masa kolonial hingga era digital, dari loyang tua nenek hingga oven modern di dapur hari ini—kukis selalu punya tempat di hati kita.